Teori Komunikasi: Studi Kasus: Memahami Pesan Natal
0 Comments Published by Villa Suite Home on Rabu, 17 November 2010 at 16.00.Pada prinsipnya, proses komunikasi melibatkan dua pihak, entah itu komunikasi dua arah, entah itu komunikasi searah. Yang satu berlaku sebagai pengirim pesan, yang lain sebagai penerima pesan. Dalam pertuturan lisan, sebuah pesan pertama-tama akan mengalami pengkristalan dalam segi makna di benak si pengirim pesan. Kemudian dirangkaikanlah makna-makna itu dalam rangkaian kata dan kalimat.
Dengan kata lain, pertama-tama si pengirim akan melakukan semantic encoding dalam benaknya. Kemudian ia merangkai kata-kata dalam rangkaian kalimat lewat grammatical encoding. Ketika selesai, pesan yang sudah tersusun dalam kalimat(-kalimat) itu pun dituturkan. Proses akhir ini disebut phonological encoding.
Sementara bagi penerima pesan, proses yang terjadi justru sebaliknya. Karena mereka mendengar pesan dalam gelombang suara, hal pertama yang terjadi tentulah phonological decoding. Lalu diproseslah getaran-getaran tersebut ke dalam kata demi kata yang membangun pesan itu dalam grammatical decoding sampai akhirnya mereka menangkap maksud pesan tersebut (semantic decoding).
Proses itu akan berbeda ketika ada media yang menjadi sarana komunikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Black et al (dalam Hassel 1995), keberadaan media akan mempengaruhi struktur interaksi. Dalam proses komunikasi tadi, keberadaan media jelas mengubah proses yang terjadi. Dalam komunikasi tulisan, entah itu melalui surat, surat elektronik, maupun ceting.
Apabila dalam komunikasi lisan proses tersebut meliputi phonological encoding (bagi pengirim pesan) dan phonological decoding (bagi penerima pesan), dalam tulisan proses tersebut hanya sampai pada grammatical encoding dan grammatical decoding.
Bandingkan proses komunikasi lisan dengan proses komunikasi yang menggunakan media di bawah ini. Sebagai catatan, komunikasi melalui HP/ponsel dilakukan dengan menggunakan pesan singkat (SMS), bukan dengan bertelepon.
Perbedaan gangguan pun akan terlihat. Misalnya dalam komunikasi lisan, gangguan bisa berupa kemampuan pendengaran yang berkurang, suasana yang berisik, interupsi dari pihak ketiga, dan sebagainya. Sementara dalam komunikasi dengan media komputer/internet maupun HP, gangguan bisa berupa lambatnya koneksi internet, virus yang menyerang, kode-kode (emotikon maupun kaomoji dan kode-kode lain) yang tidak dipahami salah satu pihak (biasa dipakai untuk maksud tertentu; bahkan penggunaan bahasa asing–campur kode–bisa dimunculkan untuk memberi kesan tertentu yang sayangnya tidak selalu bisa dipahami penerima pesan), interupsi pihak ketiga (misalnya dalam ceting), operator seluler yang sibuk, dan sebagainya.
Sejak masa Adven, hingga Natal kemarin–kalau Anda merayakannya–berbagai pesan mulai dari menyambut peringatan kelahiran-Nya, sampai pada berita Natal itu sendiri. Rangkaian pesan ini sesungguhnya sangat berharga. Sebab sering kali pesan Natal ini mengandung teguran, pengajaran, yang pada dasarnya berfungsi sebagai pengingat, pembangun, dan penggerak kita.
Pesan demi pesan itu bisa sampai kepada masing-masing kita melalui proses yang saya kemukakan di atas.
Permasalahannya, bagaimana kita mengetahui bahwa pesan Natal itu benar-benar sampai kepada setiap kita? Pesan Natal yang sampai kepada kita itu seperti apa? Pertanyaan ini tidak hanya diajukan kepada kita yang rajin berbibadah sepanjang tahun, tapi juga kepada setiap kita yang menjadi Kristen Napas (Natal dan Paskah).
Pada dasarnya, sebuah pesan disebut berhasil disampaikan ketika pihak penerima pesan bisa memahami pesan yang dikomunikasikan. Sebagai contoh, ketika Natal tahun ini menyuarakan tema utama seputar perdamaian (sebagaimana didengungkan oleh PGI), dan kita yang hadir dalam ibadah-ibadah Natal kemarin bisa memahami bahwa sebagai orang Kristen kita harus semakin aktif menyebar perdamaian, berarti kita sudah menangkap pesan yang disampaikan dengan baik. Dengan demikian, pertanyaan pertama tadi boleh dianggap terjawab. Gangguan yang biasa timbul dalam ketika mendengarkan khotbah biasanya berupa rasa kantuk, SMS atau telepon yang tiba-tiba masuk, listrik padam, dan sebagainya. Maka jika digambarkan dalam bagan, kira-kira akan menjadi seperti di bawah ini.
Akan tetapi, ketika kita mulai bicara dalam tataran yang jauh melampaui sekadar menerima pesan, rasanya kita patut bertanya lagi pada diri kita sendiri. Pertanyaan kedua mengisyaratkan bahwa ada tahapan yang lebih daripada sekadar menerima pesan, yaitu melakukan pesan yang disampaikan.
Melihat hal ini, sebuah pesan Natal (sebagaimana khotbah-khotbah pada hari-hari biasa) sebenarnya bermakna imperatif. Ada harapan bahwa semua penerima pesan bisa menjalankan pesan yang disampaikan. Jadi, setiap kita yang mendapat pesan Natal ini sebenarnya didorong untuk mempraktikkannya dalam kehidupan keseharian. Ketika berita Natal yang didengungkan tahun ini ialah agar kita berdamai dengan diri sendiri, dengan sesama, dan membawa damai bagi yang lain, pesan Natal itu pun akan benar-benar sukses sampai kepada kita ketika kita tidak hanya memahami, tetapi juga menjalankannya dengan aktif.
Sayangnya, sebagaimana digambarkan dalam bagan di atas, dalam menjalankan pesan Natal itu pun kita masih akan mengalami gangguan, baik dari dalam diri sendiri (kemalasan, ego, dan sebagainya), maupun dari luar (godaan duniawi). Apalagi kita tidak hanya harus menjalani sisa tahun ini, namun juga tahun yang akan segera dianugerahkan kepada kita. Namun, di sinilah iman dan percaya setiap kita diuji. Dengan berserah pada Sang Juru Selamat, kita akan mampu menaklukkan gangguan-gangguan tersebut sehingga pesan Natal itu bisa kita alirkan kepada sesama, yang mungkin saja akan kembali kepada pengirim pesan semula.
Selamat Natal, selamat menjalankan pesan Natal, baik pada penghujung tahun ini, maupun pada tahun yang segera menjelang. (karena saya percaya Anda semua tentu sudah menerima pesan Natal yang dikomunikasikan sejak beberapa hari yang lalu).
di kopas dari
0 Responses to “Teori Komunikasi: Studi Kasus: Memahami Pesan Natal”
Posting Komentar